Selasa, 24 Januari 2012

Pembela Kaum Pemulung



Menyelesaikan studi Strata-2, menjadi Istri seorang Suami sibuk, dan Ibu dari dua anak jelang ABG, sebenarnya Sari cukup menjadi donatur bagi aktivitas sosial-spiritual di kampung pemulung Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Tapi, perempuan bernama lengkap Wahyu Katri Ambar Wulan Sari (43), ini merasa tak cukup sekadar berjihad bil-maal. Warga Perumahan Kemang Pratama Bekasi ini juga menyedekahkan waktu, pikiran, dan fisiknya untuk mengelola langsung TPQ, PAUD, dan Majelis Taklim Sumur Batu Bantar Gebang di bawah naungan Yayasan Ummu Amanah yang diketuainya.

Masuk ke kawasan Gunung Sampah Tepat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang pada 2007, Sarjana Pertanian alumnus Universitas Brawijaya, Malang, ini teringat pada pesan kedua orangtuanya di Jogja untuk selalu mencari dan mencintai kaum fakir-miskin.
"Jika kau ingin menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin," ibunda Sari mengutip wasiat Nabi Muhammad SAW sambil mengajak Sari kecil blusukan ke pemukiman kaum dhuafa di Jogja.

Maka, begitu diboyong Suaminya Karyanto Wibowo, ke sebuah perumahan elite di Bekasi, Sari ngelayap sejauh 15 km dari rumahnya untuk menyambangi kaum dhuafa yang mengais rejeki dari 'Bulog' TPA Bantar Gebang.

Di sana, yang dia saksikan adalah kemiskinan yang nyata. Tak ubahnya seperti bakteri pengurai sampah (detritus), ratusan manusia setiap hari menyemuti ribuan ton sampah. Tua, muda, lelaki, perempuan, dan anak-anak, tumplek blek di areal busuk. Entah sudah berapa anak yang mati setelah keracunan daging ayam basi, bakso kadaluwarsa, atau infeksi luka kena beling, seng, atau paku karatan.

Dengan menahan muntah yang sudah mendekati tenggorokan, Sari ber-azzam untuk menyedekahkan diri ke komunitas warga nomaden dari berbagai daerah itu. Sebuah mushola kardus di tengah lautan sampah, dia jadikan titik tolak pembinaan.
Ketulusan dan totalitas ibu dari Pradhipto Bagas Wicaksono dan Azriel Yoga Prakosa di Bantar Gebang, merajutkan sinergi dengan berbagai lembaga kepedulian seperti LAZIS Dewan Da’wah, PPPA Daarul Qur’an, dan Badan Wakaf Alquran. Juga komunitas pelajar dari dalam maupun luar negeri. Demikian pula program CSR dari sejumlah perusahaan nasional.
Setahun lebih kemudian, komunitas binaan Sari mulai jadi objek pemberitaan media massa cetak maupun elektronik. Dia sendiri 'dipaksa' jadi 'artis', untuk mengkampanyekan kepedulian serupa melalui media massa dan podium-podium seminar.

Belum lama ini, Sari memberi kabar gembira, ratusan santrinya sudah memiliki lokal kelas yang memadai. "Tapi, tanah di sekitar bangunan kelas belum dipasangi paving block, duitnya belum ada," seru Sari lewat sms. Selain itu, ia juga tengah berikhtiar membangun sebuah saung bambu untuk kantin koperasi murid dan santri.
"Total kebutuhannya Rp 100 juta kurang sedikit," katanya sambil memberi rincian anggaran untuk paving block dan saung itu. Sambil nyengir dia bilang, keuangannya sedang 'SOS' setelah keluar-masuk rumah sakit dan bolak-balik ke dokter karena paruparu-nya sempat bocor. Kata dokter, itu karena bertahun-tahun berkubang di TPA Bantar Gebang tanpa alat perlindungan semisal masker.
Sari yang ogah narsis dan paling jengah dipuji, sadar betul perkembangan komunitas pemulung Bantar Gebang bukan lantaran keringat dia seorang. Begitu banyak pihak telah menyertai perjuangannya, termasuk kader-kader guru dari warga setempat.
Pun Ummi Ruminah, pantang menjadi pahlawan sorangan dalam membina kaum pemulung. Mantan dosen IPB ini terjun ke Kampung Purebali, Kelurahan Pulogadung, Kecamatan Rawamangun, Jakarta Timur, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu slums (daerah kumuh) di Ibukota.
Berawal dari keluhan Ny Muhalimah, seorang pemulung setempat, Ummi Ruminah mengamankan generasi belia Purebali dari pemurtadan. "Sudah, untuk sementara pindahkan semua anak muslim sekolah kemari sampai kita punay sekolahan sendiri di sana. Gratis!" kata pengelola TK ini kepada Muhalimah.
Selanjutnya, dengan menjadikan Ny Muhalimah sebagai 'tangan kanan', Ummi membina komunitas Purebali. Majelis taklim pun berjalan.
Ketika kebutuhan pembinaan kian besar, Ummi dan Ny Muhalimah mengadu ke LAZIS Dewan Dakwah. Melalui para donaturnya, utamanya Bamuis BNI 46, LAZIS memenuhi kebutuhan itu.
"Alhamdulillah, sekarang murid TK-nya ada 40 anak, santri TPA ada 35 anak, dan ibu-ibu yang aktif di majelis taklim ada 30-an dari 70 yang terdaftar," papar Ny Muhalimah, perempuan berusia 46 tahun yang ditinggal kabur suaminya sejak 7 tahun lalu.
Ibu dua anak itu mengatakan, sejak TK Al Furqon dibuka, TK gratis yang dikelola aktivis gereja tak jauh dari situ, nyaris kehabisan murid. "Anehnya, mereka buka terus tuh, padahal sudah nggak ada muridnya," kata perempuan yang sehari-hari buruh di sebuah usaha catering ini.
Setiap Sabtu, kaum ibu jamaah Al Furqon mendapat bimbingan dari Tim Muslimat Dewan Da’wah yang dikomandoi Hj Andi Nurul Jannah. Materinya meliputi aqidah dan fiqih sehari-hari.
Hingga kemudian, pada Rabu siang (11/1), warga Kampung Pemulung di sisi flyover Jalan Pemuda itu mendapat pemberitahuan mengenai rencana pengosongan lahan yang mereka tempati. "Kami diberi waktu seminggu lagi untuk mengosongkan tempat ini," kata Muhalimah yang tinggal di sebuah gubug kecil di RT 02 RW 02.

Walhasil, pekan ini komunitas sekolah dan pengajian serta majelis taklim Al Furqon Purebali, tinggal menghitung hari.
Tapi, Ny Muhalimah tak begitu saja menyerah. Dia menyadari, secara administratif posisinya lemah, meski sudah mendiami Kampung Purebali bertahun-tahun.
Namun yang dia utamakan bukanlah kepentingan papan keluarganya sendiri, melainkan nasib relokasi Al Furqon.
Semula dia menjajagi lahan kosong milikPak Haji di pinggir jalan di bawah flyover Pemuda. Tapi, tampaknya masih riskan. Juga mahal sewanya. Belakangan dia mengabarkan, Al Furqon kemungkinan akan hijrah ke sebuah lokasi di dekat ITC Pedongkelan, Pulogadung.
Sayyidina Ali ra pernah berseru, "Jika kemiskinan berwujud manusia niscaya akan kubunuh dia!" Sebab, seperti disebutkan DR Yusuf Qaradhawy dalam bukunya Musykilatul Fakri Wa kaifa Aalajahal Islam, kemiskinan diancam 5 bahaya. Salah satunya adalah bahaya terhadap aqidah. "Tidak sedikit orang yang keluar dari aqidah Islam lalu memilih agama lain yang bathil karena kemiskinan dirinya," tulis Al Qaradhawy.
Karena itulah, sejak dini kaum miskin harus ditemani, sebagaimana Sang Nabi mengakrabi kaum dhuafa. "Jika kau ingin menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin," kata Nabi suatu ketika.
Melalui sedekah Anda, Bunda Sari dan Ny Muhalimah mengajak Anda semua untuk 'menemui' cinta Nabi Muhammad SAW di Kampung Pemulung.

Sumber :http://www.eramuslim.com/berita/info-umat/pembela-kaum-pemulung.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar